Thursday, November 22, 2012

SURAT DARI SETAN UNTUK MU

Aku melihatmu kemarin, saat engkau memulai aktivitias harianmu.Kau bangun tanpa sujud mengerjakan subuhmu.Bahkan kemudian, kau juga tidak mengucapkan ‘Bismillah’ sebelum memulai santapanmu, juga tidak sempat mengerjakan shalat Isha sebelum berangkat ketempat tidurmu

Kau benar2 orang yang bersyukur, Aku menyukainya
Aku tak dapat mengungkapkan betapa senangnya aku melihatmu tidak merubah cara hidupmu. Hai Bodoh, Kamu millikku. Ingat, kau dan aku sudah bertahun-tahun bersama,dan aku masih belum bisa benar2 mencintaimu . Malah aku masih membencimu, karena aku benci Allah.

Aku hanya menggunakanmu untuk membalas dendamku kepada Allah. Dia sudah mencampakkan aku dari surga, dan aku akan tetap memanfaatkanmu sepanjang masa untuk mebalaskannya. Kau lihat, ALLAH MENYAYANGIMU dan dia masih memiliki rencana-rencana untukmu dihari depan.

Tapi kau sudah menyerahkan hidupmu padaku,dan aku akan membuat kehidupanmu seperti neraka. Sehingga kita bisa bersama dua kali dan ini akan menyakiti hati ALLAH. Aku benar-benar berterimakasih padamu, karena aku sudah menunjukkan kepada NYA siapa yang menjadi pengatur dalam hidupmu dalam masa2 yang kita jalani

Kita nonton film ‘porno’ bersama, memaki orang, mencuri, berbohong, mempersenda dan mempermain kan perasaan orang, munafik, makan sekenyang-kenyangya , bergosip, manghakimi orang, menghujam orang dari belakang, tidak hormat pada orang tua ,Tidak menghargai Masjid, berperilaku buruk.

TENTUNYA kau tak ingin meninggalkan ini begitu saja. Ayuhlah, Hai Bodoh, kita terbakar bersama, selamanya. Aku masih memiliki rencana2 hangat untuk kita.Ini hanya merupakansurat penghargaanku untuk mu.

Aku ingin mengucapkan ‘TERIMAKASIH’ kerana sudah mengizinkanku memanfaatkan hampir semua masa hidupmu. Kamu memang sangat mudah dibodohi, aku menertawakanmu. .Saat kau tergoda berbuat dosa kamu menghadiahkan tawa.

Dosa sudah mulai mewarnai hidupmu. Kamu sudah 20 tahun lebih tua, dan sekarang aku perlu darah muda. Jadi, pergi dan lanjutkanlah mengajarkan orang-orang muda bagaimana berbuat dosa. Yang perlu kau lakukan adalah merokok, mabuk-mabukan, berbohong, berjudi, bergosip, dan hiduplah se-egois mungkin. Lakukan semua ini didepan anak-anak dan mereka akan menirunya.

Begitulah anak-anak .Baiklah, aku persilakan kau bergerak sekarang.

Aku akan kembali beberapa detik lagi untuk menggoda mu lagi. Jika kau cukup cerdas, kau akan lari sembunyi, dan bertaubat atas dosa-dosamu. Dan hidup untuk Allah dengan sisa umurmu yang tinggal sedikit. Memperingati orang bukan tabiatku, tapi diusiamu sekarang dan tetap melakukan dosa, sepertinya memang agak aneh.

Jangan salah sangka, aku masih tetap membencimu. Hanya saja kau harus menjadi orang tolol yang lebih baik dimata ALLAH.

Catatan : Jika kau benar2 menyayangiku , kau tak akan memberi surat ini dengan siapapun

Friday, November 16, 2012

Anjuran Puasa Muharram


Bulan mulia, bulan Muharram sebentar lagi akan menghampiri kita. Bulan tersebut disebut di sebagian kalangan dengan bulan Suro dan identik dengan hal-hal seram dan sial sehingga hajatan-hajatan tidak boleh dilaksanakan pada bulan tersebut. Padahal islam tidak menganggap demikian. Di bulan tersebut adalah kesempatan untuk beramal sholih, terutama puasa, lebih utama lagi jika mendapati hari Asyura (10 Muharram).
Anjuran Puasa Muharram

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita melakukan puasa pada bulan Muharram sebagaimana sabdanya,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah).

Imam Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 55)

Lalu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh Imam Nawawi.

1- Mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaan banyak berpuasa di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.

2- Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak puasa pada bulan Muharram. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 55)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab -pen) adalah puasa di bulan Muharram (syahrullah).” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 67)

Sesuai penjelasan Ibnu Rajab, puasa sunnah (tathowwu’) ada dua macam:

1- Puasa sunnah muthlaq. Sebaik-baik puasa sunnah muthlaq adalah puasa di bulan Muharram.

2- Puasa sunnah sebelum dan sesudah yang mengiringi puasa wajib di bulan Ramadhan. Contoh puasa ini adalah puasa enam hari di bulan Syawal. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 66)

Jadi, penjelasan di atas dapat dipahami bahwa puasa sunnah mutlaq yang paling afdhol adalah puasa Muharram. Sedangkan puasa muqoyyad (yang ada kaitan dengan waktu tertentu atau berkaitan dengan puasa Ramadhan), maka yang lebih afhol adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa Syawal dari sisi ini lebih afhdol dari puasa Muharram. Puasa Syawal tersebut berkaitan dengan puasa Ramadhan. Oleh karenanya puasa tersebut seperti shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat wajib. Puasa Arafah juga bisa lebih baik dari puasa Muharram dari sisi puasa Arafah sebagai sunnah yang rutin. (Penjelasan Syaikh Kholid bin Su’ud Al Bulaihad di sini)

Di antara sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 71). Bulan haram adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab.

Banyak Berpuasa, Tidak Mesti Sebulan Penuh

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kaum muslimin dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram. Jika tidak mampu, berpuasalah sesuai kemampuannya. Namun yang lebih tepat adalah tidak berpuasa Muharram sebulan penuh. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata,

وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِى شَعْبَانَ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan. Aku tidak pernah melihat beliau banyak puasa dalam sebulan selain pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim no. 1156). (Lihat penjelasan Syaikh Kholid bin Su’ud Al Bulaihad di sini)

Yang Lebih Afdhol, Puasa Asyura

Dari sekian hari di bulan Muharram, yang lebih afhol adalah puasa hari ‘Asyura, yaitu pada 10 Muharram. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”(HR. Muslim no. 1162).

Selisihi Yahudi dengan Menambah Puasa Tasu’a (9 Muharram)

Namun dalam rangka menyelisihi Yahudi, kita diperintahkan berpuasa pada hari sebelumnya, yaitu berpuasa pada hari kesembilan (tasu’a). Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)

Ibnu Rajab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 99)

Apa Hikmah Menambah Puasa pada Hari Kesembilan?

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)

Sebagaimana penjelasan dari Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:

1- Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.

2- Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja. (Lihat Tajridul Ittiba’, hal. 128)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata, “Yang lebih afdhol adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits (Ibnu ‘Abbas), “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.” (Lihat Fatwa Syaikh Ibnu Baz di sini).

Semoga Allah memudahkan kita untuk terus beramal sholih.

Selengkapnya tentang Puasa Asyura di sini

Amalan Puasa Asyura


Alhamdulillah, saat ini kita telah berada di bulan Muharram. Mungkin masih banyak yang belum tahu amalan apa saja yang dianjurkan di bulan ini, terutama mengenai amalan puasa. Insya Allah kita akan membahasnya pada tulisan kali ini. Semoga bermanfaat.
Dianjurkan Banyak Berpuasa di Bulan Muharram

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[1]

An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[2]

Lalu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh An Nawawi.

Pertama: Mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaan banyak berpuasa di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.

Kedua: Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak puasa pada bulan Muharram.[3]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab -pen) adalah puasa di bulan Muharram (syahrullah).”[4]

Sesuai penjelasan Ibnu Rajab, puasa sunnah (tathowwu’) ada dua macam:

Puasa sunnah muthlaq. Sebaik-baik puasa sunnah muthlaq adalah puasa di bulan Muharram.
Puasa sunnah sebelum dan sesudah yang mengiringi puasa wajib di bulan Ramadhan. Ini bukan dinamakan puasa sunnah muthlaq. Contoh puasa ini adalah puasa enam hari di bulan Syawal.[5]
Di antara sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram.[6] Bulan haram adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab.

Puasa yang Utama di Bulan Muharram adalah Puasa ‘Asyura

Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram[7]. Berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”[8]

An Nawawi -rahimahullah- mengatakan, “Para ulama sepakat, hukum melaksanakan puasa ‘Asyura untuk saat ini (setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, -pen) adalah sunnah dan bukan wajib.”[9]

Sejarah Pelaksanaan Puasa ‘Asyura[10]

Tahapan pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa ‘Asyura di Makkah dan beliau tidak perintahkan yang lain untuk melakukannya.

Dari ’Aisyah -radhiyallahu ’anha-, beliau berkata,

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

”Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ’Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak berpuasa).”[11]

Tahapan kedua: Ketika tiba di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ahlul Kitab melakukan puasa ‘Asyura dan memuliakan hari tersebut. Lalu beliau pun ikut berpuasa ketika itu. Kemudian ketika itu, beliau memerintahkan pada para sahabat untuk ikut berpuasa. Melakukan puasa ‘Asyura ketika itu semakin ditekankan perintahnya. Sampai-sampai para sahabat memerintah anak-anak kecil untuk turut berpuasa.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, ”Hari yang kalian bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lantas berkata, ”Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.”[12]

Apakah ini berarti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam meniru-niru (tasyabbuh dengan) Yahudi?

An Nawawi –rahimahullah- menjelaskan, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa melakukan puasa ’Asyura di Makkah sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang Quraisy. Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tiba di Madinah dan menemukan orang Yahudi melakukan puasa ‘Asyura, lalu beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun ikut melakukannya. Namun beliau melakukan puasa ini berdasarkan wahyu, berita mutawatir (dari jalur yang sangat banyak), atau dari ijtihad beliau, dan bukan semata-mata berita salah seorang dari mereka (orang Yahudi). Wallahu a’lam.”[13]

Para ulama berselisih pendapat apakah puasa ‘Asyura sebelum diwajibkan puasa Ramadhan dihukumi wajib ataukah sunnah mu’akkad? Di sini ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, pada masa tahapan kedua, puasa ‘Asyura dihukumi wajib. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Abu Bakr Al Atsrom.

Pendapat kedua: Pada masa tahapan kedua ini, puasa ‘Asyura dihukumi sunnah mu’akkad. Ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i dan kebanyakan dari ulama Hambali.[14]

Namun yang jelas setelah datang puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura tidaklah diwajibkan lagi dan dinilai sunnah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi -rahimahullah-.[15]

Tahapan ketiga: Ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk berpuasa ‘Asyura dan tidak terlalu menekankannya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan bahwa siapa yang ingin berpuasa, silakan dan siapa yang tidak ingin berpuasa, silakan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ’Aisyah radhiyallahu ’anha dalam hadits yang telah lewat dan dikatakan pula oleh Ibnu ’Umar berikut ini. Ibnu ’Umar -radhiyallahu ’anhuma- mengatakan,

أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.

“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah biasa melakukan puasa pada hari ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pun melakukan puasa tersebut sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, begitu pula kaum muslimin saat itu. Tatkala Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan: Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah. Barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan berpuasa. Barangsiapa meninggalkannya juga silakan.”[16]

Ibnu Rajab -rahimahullah- mengatakan, “Setiap hadits yang serupa dengan ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan lagi untuk melakukan puasa ‘Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadhan. Akan tetapi, beliau meninggalkan hal ini tanpa melarang jika ada yang masih tetap melaksanakannya. Jika puasa ‘Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan dikatakan wajib, maka selanjutnya apakah jika hukum wajib di sini dihapus (dinaskh) akan beralih menjadi mustahab (disunnahkan)? Hal ini terdapat perselisihan di antara para ulama.

Begitu pula jika hukum puasa ‘Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan adalah sunnah muakkad, maka ada ulama yang mengatakan bahwa hukum puasa Asyura beralih menjadi sunnah saja tanpa muakkad (ditekankan). Oleh karenanya, Qois bin Sa’ad mengatakan, “Kami masih tetap melakukannya.”[17]

Intinya, puasa ‘Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadhan masih tetap dianjurkan (disunnahkan).

Tahapan keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad  di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.”[18]

Menambahkan Puasa 9 Muharram

Sebagaimana dijelaskan di atas (pada hadits Ibnu Abbas) bahwa di akhir umurnya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun beliau sudah keburu meninggal sehingga beliau belum sempat melakukan puasa pada hari itu.

Lalu bagaimana hukum menambahkan puasa pada hari kesembilan Muharram? Berikut kami sarikan penjelasan An Nawawi rahimahullah.

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.

Apa hikmah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menambah puasa pada hari kesembilan? An Nawawi rahimahullah melanjutkan penjelasannya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam.[19]

Ibnu Rojab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.”[20]

Intinya, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:

Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[21]
Puasa 9, 10, dan 11 Muharram

Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya berpuasa pada hari ke-9, 10, dan 11 Muharram. Inilah yang dianggap sebagai tingkatan lain dalam melakukan puasa Asy Syura[22]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

“Puasalah pada hari ’Asyura’ (10 Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu ’Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho’if (lemah). Di dalam sanad tersebut terdapat Ibnu Abi Laila -yang nama aslinya Muhammad bin Abdur Rahman-, hafalannya dinilai jelek. Juga terdapat Daud bin ’Ali. Dia tidak dikatakan tsiqoh kecuali oleh Ibnu Hibban. Beliau berkata, ”Daud kadang yukhti’ (keliru).” Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil).

Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma’anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari ’Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallahu ’anhuma berkata,

خَالِفُوْا اليَهُوْدَ وَصُوْمُوْا التَّاسِعَ وَالعَاشِرَ

“Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.” Sanad hadits ini adalah shohih, namun diriwayatkan secara mauquf (hanya dinilai sebagai perkataan sahabat). [23]

Catatan: Jika ragu dalam penentuan awal Muharram, maka boleh ditambahkan dengan berpuasa pada tanggal 11 Muharram.

Imam Ahmad -rahimahullah- mengatakan, ”Jika ragu mengenai penentuan awal  Muharram, maka boleh berpuasa pada tiga hari (hari 9, 10, dan 11 Muharram, pen) untuk kehati-hatian.”[24]

Sebagai Motivasi

Semoga kita terdorong untuk melakukan puasa Asyura. Cukup ayat ini sebagai renungan. Allah Ta’ala berfirman,

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ

“(Kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu".” (QS. Al Haqqah: 24)

Mujahid dan selainnya mengatakan, ”Ayat ini turun pada orang yang berpuasa. Barangsiapa meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Allah, maka Allah akan memberi ganti dengan makanan dan minuman yang lebih baik, serta akan mendapat ganti dengan pasangan di akhirat yang kekal (tidak mati).”[25] Inilah balasan untuk orang yang gemar berpuasa.



Insya Allah tanggal 9,10 dan 11 Muharram tahun ini bertepatan dengan tanggal 23,24 dan 25 Desember 2012.



Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan puasa ini. Hanya Allah yang memberi taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.



Sumber: http://rumaysho.com

Friday, November 9, 2012

JIHAD DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Jihad merupakan amal kebaikan yang disyari’atkan Allah. Ia menjadi sebab kokoh dan mulianya umat Islam. Sebaliknya, jika kaum Muslimin meninggalkan jihad di jalan Allah, maka mereka akan mendapatkan kehinaan. Dijelaskan dalam hadits yang shahih : [1]

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

"Dari Ibnu Umar, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: "Apabila kalian telah berjual-beli ‘inah, mengambil ekor sapi dan ridha dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan (kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian" [HR Abu Dawud].

Ibnu Taimiyah menyatakan : "Tidak diragukan lagi, jihad dan melawan orang yang menyelisihi para rasul, dan mengarahkan pedang syari'at kepada mereka, serta melaksanakan kewajiban-kewajiban disebabkan pernyataan mereka, untuk menolong para nabi dan rasul dan untuk menjadi pelajaran berharga bagi yang mengambilnya, sehingga orang-orang yang menyimpang menjadi jera; yang demikian ini termasuk amalan paling utama yang Allah perintahkan kepada kita sebagai wujud ibadah mendekatkan diri kepadaNya"[2]

Namun, amal kebaikan ini harus memenuhi syarat ikhlas dan sesuai dengan syariat Islam. Karena keduanya meru[akan syarat diterimanya suatu amalan. Disamping itu juga, jihad bukanlah perkara mudah bagi jiwa. Sangat erat kaitannya dengan pertumpahan darah, jiwa dan harta, yang menjadi perkara agung dalam Islam, sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

"Sesungguhnya, darah, kehormatan dan harta kalian, diharamkan atas kalian (saling menzhalimi), seperti kesucian hari ini, pada bulan ini dan di negeri kalian ini, sampai kalian menjumpai Rabb kalian. Ketahuilah, apakah aku telah menyampaikan?" Mereka menjawab,"Ya." Maka beliaupun berkata: "Ya Allah, persaksikanlah. Maka, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Janganlah kalian kembali kufur sepeninggalanku, sebagian kalian saling membunuh sebagaian lainnya".[Muttafaqun 'alaihi].[3]

Demikian agungnya perkara jihad ini, sehingga menuntut setiap Muslim untuk ikut berperan dalam menggapai cinta dan keridhaan Allah. Tentu saja, hal ini menuntut pelakunya untuk komitmen dengan ketentuan dan batasan syari’at, sesuai dengan hukum al Qur`an dan Sunnah Rasulullah, tanpa meninggalkan satu ketentuan pun, agar selamat dari sikap ekstrim, dan jihadnya menjadi jihad syar’i di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan pahala yang besar di akhirat nanti. Hal itu, karena ia berjalan di atas cahaya Ilahi, petunjuk dan ilmu dari al Qur`an dan Sunnah NabiNya.[4]

Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap Muslim, agar belajar mengenai konsep Islam tentang jihad secara benar, dan bertanya kepada para ulama pewaris Nabi tentang hal-hal yang belum ia ketahui. Telebih lagi dalam permasalahan yang sangat penting ini.

JENIS DAN TINGKATAN JIHAD
Kata jihad, memiliki pengertian yang luas. Jihad dalam arti memerangi orang kafir, hanya merupakan salah satu dari bentuk dan jenis jihad, karena pengertian jihad lebih umum dan lebih luas dari hal tersebut.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan jenis jihad ditinjau dari obyeknya, memiliki empat martabat, yaitu: jihad memerangi nafsu, jihad memerangi setan, jihad memerangi orang kafir dan jihad memerangi orang munafik [5]. Dalam keterangan selanjutnya, Imam Ibnul Qayyim menambah dengan jihad melawan pelaku kezhaliman, bid’ah dan kemungkaran.[6]

Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan tigabelas martabat bagi jenis jihad di atas dengan menyatakan, bahwa jihad memerangi nafsu memiliki empat tingkatan.

Pertama : Jihad memeranginya untuk belajar petunjuk Ilahi dan agama yang lurus, yang menjadi sumber keberuntungan dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Barangsiapa yang kehilangan ilmu petunjuk ini, ia akan sengsara di dunia dan akhirat.

Kedua : Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengetahuinya. Kalau tidak demikian, sekedar hanya mengilmuinya tanpa amal. Walaupun tidak merusaknya, namun tidak bermanfaat.

Ketiga : Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat, tidak menyelamatkannya dari adzab Allah.

Keempat : Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar menanggungnya karena Allah.

Apabila telah sempurna empat martabat ini, maka ia termasuk Rabbaniyun. Para salaf telah sepakat menyatakan, seorang 'alim (ulama) tidak berhak disebut Rabbani sampai ia mengenal kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Sehingga hanya orang yang berilmu, beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai orang besar di alam langit.

Adapun jihad memerangi setan memiliki dua martabat.
Pertama : Memeranginya untuk menolak syubhat dan keraguan yang merusak iman, yang diarahkan setan kepada hamba.
Kedua : Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat, yang dilemparkan setan kepada hamba.

Jihad yang pertama dilakukan dengan yakin, dan jihad yang kedua dengan kesabaran. Allah berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami". [as Sajdah : 24].

Allah menjelaskan, bahwa kepemimpinan agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan yakin. Dengan kesabaran, ia menolak syahwat dan keinginan rusak. Dan dengan yakin, ia menolak keraguan dan syubhat.

Sedangkan jihad memerangi orang kafir dan munafiqin, memiliki empat martabat, yaitu dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad memerangi orang kafir, lebih khusus dengan tangan. Dan jihad memerangi orang munafiq, lebih khusus dengan lisan.

Sedangkan jihad memerangi pelaku kezhaliman, bid'ah dan kemungkaran, memiliki tiga martabat. Pertama, dengan tangan bila mampu. Apabila tidak mampu, maka dengan lisan. Bila tidak mampu juga, maka dengan hati.

Inilah tiga belas martabat jihad. Barangsiapa yang meninggal dan belum berperang, dan tidak pernah membisikkan jiwanya untuk berperang, maka ia meninggal di atas satu cabang kemunafiqan.[7]

Dari penjelasan Imam Ibnul Qayyim di atas dapat diambil beberapa pelajaran.
Pertama : Banyak kaum Muslimin memahami jihad hanya sekedar jihad memerangi orang kafir saja. Demikian ini adalah pemahaman parsial.

Kedua : Sudah seharusnya seorang muslim memulai jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi, dengan taat kepada Allah, memerangi jiwa dengan cara menuntut ilmu dan memahami agama (din) Islam, memahami al Qur`an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para salafush shalih. Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Karena maksud dari ilmu adalah diamalkan. Setelah itu, memerangi jiwa dengan berdakwah mengajak manusia kepada ilmu dan amal, lalu bersabar dari semua gangguan dan rintangan ketika belajar, beramal dan berdakwah. Inilah jihad memerangi nafsu, yang merupakan jihad terbesar dan didahulukan dari selainnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan juga, jihad memerangi musuh Allah yang diluar (jiwa) adalah cabang dari jihad memerangi jiwa, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ

"Mujahid adalah, orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam ketaatan Allah. Dan muhajir adalah, orang yang berhijrah dari larangan Allah".[8]

Maka jihad memerangi jiwa lebih didahulukan dari jihad memerangi musuh-musuh Allah yang di luar (jiwa) dan menjadi induknya. Karena orang yang belum berjihad (memerangi) jiwanya terlebih dahulu untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, serta belum memeranginya di jalan Allah, maka ia tidak dapat memerangi musuh yang diluar (itu). Bagaimana ia mampu berjihad memerangi musuhnya, padahal musuh yang berada di sampingnya berkuasa dan menjajahnya, serta belum ia berjihad dan memeranginya. Bahkan tidak mungkin ia dapat berangkat memerangi musuhnya, sebelum ia berjihad memerangi jiwanya untuk berangkat berjihad.[9]

Jihad memerangi nafsuhukumnya wajib atau fardhu 'ain, tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Karena jihad ini berhubungan dengan pribadi setiap orang.[10]

Ketiga : Para ulama menjelaskan, setan menggoda manusia melalui dua pintu, yaitu syahwat dan syubhat. Apabila seorang manusia lemah iman, dan sedikit ketaatannya kepada Allah, maka setan akan mendatanginya melalui pintu syahwat. Dan jika setan mendapati manusia sangat komitmen dengan agamanya dan kuat imannya, maka ia mendatanginya melalui pintu syubhat, keraguan dan menjerumuskannya kepada perbuatan bid'ah.[11]

Jihad melawan setan ini hukumnya fardhu 'ain, juga dikarenakan berhubungan langsung dengan setiap pribadi manusia, sebagaimana firman Allah:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا

"Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu)". [Faathir : 6].

Keempat. : Jihad melawan orang kafir dan munafiqin dilakukan dengan hati, lisan, harta dan jiwa, sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik :

جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

"Perangilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian". [12]

Pengertian jihad melawan orang kafir dan munafiq dengan hati adalah, membenci mereka dan tidak memberikan loyalitas ataupun kecintaan, serta merasa gembira dengan kerendahan dan kehinaan mereka, dan sikap lainnya, yang disebutkan di dalam al Qur`an dan Sunnah yang berhubungan dengan hati.

Pengertian jihad dengan lisan adalah, menjelaskan kebenaran dan membantah kesesatan serta kebatilan-kebatilan mereka, dengan hujjah dan bukti kongkrit.

Sedangkan pengertian jihad dengan harta adalah, menafkahkan harta di jalan Allah dalam perkara jihad perang atau dakwah, serta menolong dan membantu kaum Muslimin.

Adapun jihad dengan jiwa, maksudnya adalah, memerangi mereka dengan tangan dan senjata sampai mereka masuk Islam atau kalah, sebagaimana firman Allah : "Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim". [al Baqarah : 193].

Dan juga firman Allah : "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk". [at Taubah : 29].

Kaum kafir dan munafiqin diperangi dengan keempat jihad di atas. Namun, kaum kafir lebih khusus dihadapi dengan tangan, karena permusuhannya secara terang-terangan. Sedangkan munafiqin dengan lisan, karena permusuhannya tersembunyi dan keadaan mereka di bawah kekuasaan kamu Muslimin, sehingga diperangi dengan hujjah dan dibongkar keadaan mereka yang sebenarnya, serta dijelaskan sifat-sifat mereka, agar orang-orang mengetahui hal itu, dan berhati-hati dari mereka agar tidak terjerumus kepada kemunafikan tersebut.

Kelima : Beliau rahimahullah mengutarakan jihad memerangi pelaku kezaliman, pelaku bid’ah dan kemungkaran, dilakukan dengan tiga martabat, yaitu dengan tangan. Bila tidak mampu, maka dengan lisan. Dan bila tidak mampu juga, maka dengan hati. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Sa’id al Khudri yang berbunyi:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

"Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang melihat dari kalian satu kemungkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Lalu, bila tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman". [HR Muslim].

Setiap muslim dituntut berjihad menghadapi pelaku perbuatan zhalim, bid’ah dan mungkar sesuai dengan kemampuannya, dan dengan memperhatikan kaidah-kaidah amar ma’ruf nahi mungkar. Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan di dalam hadits Ibnu Mas’ud yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada seorang nabi yang Allah utus kepada suatu umat sebelumku, kecuali memiliki pembela-pembela (hawariyun) dari umatnya dan sahabat-sahabat yang mencontoh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian datang generasi-generasi pengganti mereka yang berkata apa yang tidak mereka amalkan, dan mengamalkan yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang menghadapi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang menghadapi mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Serta barangsiapa yang menghadapi mereka dengan hatinya, maka ia seorang mukmin, dan tidak ada setelah itu sekecil biji sawi dari iman".[14]

Setiap muslim pasti mampu melakukan jihad jenis ini, yaitu dengan hatinya. Demikian itu dengan cara mengingkari dan membenci perbuatan bid’ah, kezhaliman dan kemungkaran dengan hatinya, dan berharap perbuatan-perbuatan tersebut hilang.

MAKSUD TUJUAN JIHAD[15]
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mewajibkan dan mensyariatkan sesuatu tanpa adanya maksud tujuan yang agung. Demikian juga, jihad disyariatkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang telah dijelaskan para ulama dengan pernyataan mereka.

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah.[16]

Beliau rahimahullah juga menyatakan, maksud tujuan jihad adalah, agar tidak ada yang disembah kecuali Allah, sehingga tidak ada seorangpun yang berdoa, shalat, sujud dan puasa untuk selain Allah. Tidak berumrah dan berhaji, kecuali ke rumahNya (Ka’bah), tidak disembelih sembelihan kecuali untukNya, dan tidak bernadzar dan bersumpah, kecuali denganNya.[17]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di menyatakan, jihad ada dua jenis. Jihad dengan tujuan untuk kebaikan dan perbaikan kaum mukminin dalam aqidah, akhlak, adab (prilaku) dan seluruh perkara dunia dan akhirat mereka serta pendidikan mereka, baik ilmiah dan amaliah. Jenis ini adalah induk dan tonggaknya jihad, serta menjadi dasar bagi jihad yang kedua, yaitu jihad dengan maksud menolak orang yang menyerang Islam dan kaum Muslimin dari kalangan orang kafir, munafiqin, mulhid dan seluruh musuh agama dan menentang mereka.[18]

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menyatakan, jihad terbagi menjadi dua, yaitu jihad ath tholab (menyerang) dan jihad ad daf’u (bertahan).

Maksud tujuan keduanya adalah, menyampaikan agama Allah dan mengajak orang mengikutinya. Mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya Islam dan meninggikan agama Allah di muka bumi, serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam al Qur`an surat Al Baqarah ayat 193: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.

"Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah". [Al Anfal : 39].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

"Aku diperintahkan memerangi manusia hingga bersaksi dengan syahadatain, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah berbuat demikian, maka darah dan harta mereka telah terjaga dariku, kecuali dengan hak Islam. Dan hisab mereka diserahkan kepada Allah". [Muttafaqun 'alaihi].

Dari keterangan para ulama di atas jelaslah, bahwa maksud tujuan disyariatkannya jihad adalah, untuk menegakkan agama Islam di muka bumi ini, dan bukan untuk dendam pribadi, atau golongan, sehingga sangat dibutuhkan pengetahuan tentang konsep Islam dalam jihad, baik secara hukum, cara berjihad dan ketentuan harta rampasan perang, sebagai konsekwensi dari pelaksanaan jihad.

Demikian, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a'lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diambil dari pernyataan Syaikh al Albani dalam as Salafiyun wa Qadhiyah Falestina fii Waaqi’inq al Mu’ashir, karya Muhammad Kaamil al Qadhdhaab dan Muhammad ‘Izuddin al Qassaam, ditakhrij dan diberi muqaddimah oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman, Cetakan Pertama, Tahun 1423H/2002M, Penerbit Markaz Baitul Maqdis lid Dirasaat at Tautsiqiyyah, hlm. 65.
[2]. Dinukil dari makalah berjudul Dhawabith Jihaad fi as Sunnah an Nabawiyah, oleh Dr. Muhammad Umar Bazamul, hlm. 4, menukil dari kitab ar Radd ‘ala al Akhna-i, oleh Ibnu Taimiyah, hlm. 326-329.
[3]. HR al Bukhari, kitab Ilmu, no. 67 dan Muslim, kitab al Qasaamah wal Muhaaribin wal Qishash, bab Taghlidz tahrim ad Dima’ wal Aghradh wal Amwal, no. 1679.
[4]. Diringkas dari al Quthuf al Jiyaad min Hikam wa Ahkam al Jihad, karya Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdilmuhsin al ‘Abaad, Cetakan Pertama, Tahun 1425 H, Dar al Mughni, hlm. 4.
[5]. Zaadul Ma’ad fi Khairal ‘Ibaad, Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Abdulqadir al Arnauth, Cetakan Ketiga, Tahun 1421H, Muassasat ar Risalah, Bairut (3/9)
[6]. Ibid (3/10).
[1]. Ini merupakan ungkapan hadits Nabi n yang diriwayatkan Imam Muslim, kitab al Imaarah, no. 1910. Lihat Zaadul Ma'ad (3/9-10)
[8]. HR Ahmad dalam Musnad (6/21) dan dikatakan pentahqiq Zaadul Ma’ad, bahwa sanadnya baik dan dishahihkan Ibnu Hibban, al Hakim dan adz Dzahabi.
[9]. Ibid (3/6).
[10]. Al Quthuf al Jiyaad, hlm. 15.
[11]. Lihat lebih lanjut tulisan Ustadz Muslim dalam rubrik Tazkiyatun Nufus, Majalah As Sunnah, Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M, hlm. 55-60.
[12]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab al Jihad, Bab Karahiyah Tarku al Ghazwi, no.2504.
[13]. Diringkas dari al Quthuf al Jiyaad, hlm. 12-13.
[14]. HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Iman, no. 71.
[15]. Diambil dari al Quthuf al Jiyaad, hlm. 18-20 secara bebas.
[16]. Lihat Majmu’ Fatawa (15/170).
[17]. Ibid (35/368).
[18]. Wujub at Ta’awun Baina al Muslimin, merupakan bagian dari al Majmu’ah al Kaamilah (5/186)
[19]. Majmu’ Fatawa wa Maqaalat Mutanawi’ah (18/70).

Sumber : http://almanhaj.or.id

Thursday, November 8, 2012

Khusyu’ dan Khudu dalam Shalat 1


Banyak orang yang mengerjakan shalat, bahkan mendirikan secara berjamaah, akan tetapi demikian buruk shalatnya, sehingga mereka tidak mendapatkan pahala dari shalatnya itu. Shalat mereka bagaikan kain buruk yang akan dilemparkan ke wajahnya, seolah-olah tidak mengerjakan shalat adalah lebih baik. Memang balasan seperti ini tidak sepedih azab yang diberikan kepada orang yang meninggalkan shalat. Orang yang meninggalkan shalat akan menerima azab yang lebih berat lagi. Walaupun untuk mendirikan shalat kita harus mengorbankan waktu, meninggalkan pekerjaan, dan menemui berbagai kesulitan, namun shalat harus dikerjakan dan diusahakan dengan sebaik-baiknya.

Allah Swt berfirman :

“Sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, daging-daging dan darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaan kalian.” (QS.Al-Hajj 22:37)
Semakin kita ikhlas dalam ibadah maka semakin dikabulkan oleh Allah Swt. Keikhlasan serta kekhusyuan dalam mengamalkan suatu ibadah itulah yang akan diterima oleh Allah Swt.

Mu’adz ra berkata, “Ketika Rasulullah saw mengutusku ke Yaman, aku memohon kepada beliau supaya memberikan nasihatnya. Rasulullah saw bersabda : “Jagalah keikhlasan dalam amalmu, karena dengan keikhlasan, amal yang sedikit akan mendatangkan pahala yang banyak.”

Tsauban ra berkata : “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Berbahagialah orang yang ikhlas, karena ikhlas adalah cahaya hidayah dan karena disebabkan oleh ikhlas fitnah yang paling kejam akan menjauhinya.”

Dalam hadits dikatakan, “Dengan berkah orang-orang yang lemah, Allah Swt menolong umat ini, yaitu berkah doa-doa mereka, shalat mereka, dan keikhlasan mereka.”

Berkaitan dengan masalah ini, Allah Swt berfirman :

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya (shalatnya tidak berpengaruh baginya), dan orang-orang yang berbuat riya.” (QS.Al Maa’uun 107,4-6)

Terdapat beberapa pendapat para ulama tentang maksud perkataan “lalai dalam shalat di antaranya adalah, melalaikan waktu shalat, sehingga meng-qadha shalatnya, tidak konsentrasi ketika shalat, yakni perhatiannya ke sana ke mari, ada juga yang menafsirkan dengan lupa dalam jumlah rakaatnya.

Allah Swt berfirman :

“Dan apabila mereka berdiri mengerjakan shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit.” (QS.An Nisaa 4,142)

“Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalatnya dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka akan menumui ‘ghayya’ (kesesatan).” (QS. Maryam 19,59)

Ghayya, menurut bahasa artinya kekacauan, yaitu keburukan dan kebinasaan di akhirat. Tetapi ada juga yang menafsirkan Ghayya sebagai sebuah tingkatan dalam neraka Jahannam di dalamnya berisi darah dan nanah. Orang-orang yang shalatnya tidak sempurna akan dimasukkan ke dalam lubang ini.

Allah Swt berfirman :

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterimanya nafkah-nafkah mereka melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mengerjakan shalat kecuali malas, dan juga tidak menafkahkan harta mereka, melainkan karena terpaksa.” (QS At Taubah 9, 54)

Sedangkan bagi orang-orang yang benar shalatnya, Allah Swt berfirman :

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu yang khusyu dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna. Dan orang-orang yang membayar zakat. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada isteri-isteri dan hamba sahaya yang mereka miliki, maka mereka tidak tercela. Barangsiapa yang melepaskan nafsunya kepada selain itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan menepati janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Itulah orang-orang yang mewarisi, yaitu yang mewarisi Jannah Firdaus, mereka kekal di dalamnya.” (QS.al Mukminuun 23,:1-11)

Rasulullah saw bersabda, “Jannah Firdaus ialah tempat yang paling tinggi dan istimewa. Di sana ada sungai-sungai yang mengalir. Di dalamnya terdapat Arasy Ilahi. Apabila engkau memohon Jannah, maka memohonlah Jannah Firdaus.”

Dalam ayat lain Allah Swt berfirman :

“Dan carilah pertolongan dengan sifat sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat sekali, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabbnya dan meyakini bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS.al Baqarah 2,45-46)

Dalam ayat lain Allah Swt berfirman :

“Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang pada hari itu hati dan penglihatan menjadi goncang. Mereka mengerjakan yang demikian itu supaya Allah memberi balasan kepada mereka dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, da supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS.an Nuur 24,36-38)

Abdullah Ibnu Abbas ra mengatakan , “Yang dimaksud dengan mendirikan shalat adalah sujud dan ruku dengan sempurna. Benar-benar khusyu dan bertawajjuh dalam shalat.”

Qaatadah ra berkata, “Mendirikan shalat adalah menjaga waktu awal waktu, berwudhu dengan sempurna, ruku dan sujud dengan sebaik-baiknya. Di mana ada ayat tentang mendirikan shalat, sebenarnya itulah maksudnya.”

Mengenai ini, Allah Swt berfirman :

“Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih, adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka akan mengucapkan kata-kata keselamatan. Dan orang-orang yang menghabiskan malamnya dengan bersujud, berdiri di hadapan Rabbnya.” (QS.al Furqaan 25: 63-64)

Setelah Allah Swt menggambarkan beberapa sifat hamba-Nya yang taat dan setia, kemudian Allah Swt berfirman :

“Merekalah orang-orang yang dibalas dengan derajat yang tinggi di dalam Jannah atas kesabaran mereka dan mereka akan disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Jannah itu sebaik-baik tempat menetap dan kediaman.”
(QS.al Furqaan 25:75-76)

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu bermacam-macam nikmat yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Ar Sajdah 32:16-17)

Penjelasan Sunnah Dan Bid'ah


Hingga sekarang, sebagian kecil dari saudara-saudara kita seagama masih sering terjebak dalam sikap memutlakkan pendapat sendiri sebagai yang paling benar sehingga cenderung menghakimi dan memvonis orang atau kelompok lain.

Di antara vonis-vonis yang masih muncul ke permukaan adalah vonis bid'ah-sesat terhadap amalan-amalan tertentu yang sesungguhnya (kalau dilacak secara cermat) ternyata bukan bid'ah, melainkan justru sunnah yang memang layak dilestarikan oleh setiap Muslim dan Mukmin.

Hanya karena keterbatasan referensi, maka vonis bid'ah tidak kunjung hilang, sehingga peringatan maulid Nabi yang diselenggarakan karena kecintaan kepada makhluk terbaik di langit dan bumi ini pun disebut sebagai bid'ah-sesat yang diancam dengan neraka; demikian pula penggunaan alat penghitung dzikir (tasbih), wirid berjamaah, amalan-amalan thariqat, dan lain sebagainya.

Tulisan ini tidak bermaksud mengemukakan dalil-dalil tentang aktivitas-aktivitas ini, dan tidak pula bermaksud memperuncing khilafiah antara pihak pemvonis dan yang divonis. Tujuan pokok tulisan semata-mata untuk menambah wawasan keislaman, khususnya tentang pengertian bid'ah dan contoh-contoh bid'ah yang bergulir dalam sejarah dan yang justru dilakukan oleh para sahabat Nabi.

Pengertian dan Hakikat Bid’ah

Dalil yang sering dikemukakan oleh saudara-saudara kita yang seringkali memvonis bid’ah terhadap amalan-amalan tertentu adalah hadis Nabi saw. yang sangat terkenal dan berbunyi:

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

“Hindarilah perkara-perkara yang baru (diada-adakan), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[1]

Untuk memahami hadis tersebut secara baik dan menerapkannya secara benar terhadap persoalan-persoalan konkret tampaknya sangat penting dijelaskan terlebih dahulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata bid’ah.

Dari segi bahasa, bid’ah berasal dari kata bada’a yang dalam kamus Mukhtâr al-Shihâh diartikan dengan ikhtara’a,[2] sedangkan dalam Lisân al-‘Arab diartikan dengan ansya-a wa bada-a.[3] Kedua makna yang ditunjukkan dalam dua kamus yang sangat terkenal itu pada dasarnya sama: ‘mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada’.

Bid’ah memang berarti mengadakan atau menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Bid’ah adalah wujud konkret sebuah prakarsa, baik dalam masalah ibadah maupun dalam soal muamalah. Merintis suatu perbuatan, jalan atau cara, dalam kebaikan atau dalam keburukan, adalah bid’ah; tetapi merintis cara atau jalan baru yang dilakukan dalam rangka kebaikan dan pendekatan diri kepada Allah, sesungguhnya justru menjadi bagian penting dari ajaran agama.

Dalam kaitan ini, hadis Nabi berikut—sebuah hadis yang sangat populer karena dikutip dalam banyak kitab hadis—barangkali perlu disimak dengan seksama kandungan maknanya agar kita tidak terlalu sempit dalam memandang agama. Dalam hadis Jarir ibn ‘Abdullah disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء

“Barangsiapa merintis (membuat atau meletakkan) jalan yang baik dalam Islam, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun pahala mereka; dan barangsiapa merintis (membuat atau meletakkan) jalan yang buruk dalam Islam, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun dosa mereka.”[4]

Makna yang paling tepat untuk kata Arab sanna – yasunnu adalah “merintis” atau melakukan sesuatu pertama kali yang selanjutnya dapat dilakukan oleh orang lain. Makna ini dapat dipahami dari ungkapan Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab-nya:

كل من ابتدأ أمرا عمل به قوم بعده قيل هو الذي سنه

“Setiap orang yang memulai suatu perkara yang kemudian perkara itu dikerjakan oleh orang-orang sesudahnya, maka dikatakan, dialah orang yang ‘merintis’ perkara itu.”[5]

Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan kata sunnah dalam hadis Nabi di atas adalah “jalan atau perkara baru yang dirintis” atau “prakarsa”; dan perkara-perkara yang dirintis oleh seseorang, atau yang disebut dengan prakarsa, adakalanya baik sehingga disebut sunnah hasanah, dan adakalanya buruk sehingga disebut sunnah sayyi-ah, sebagaimana diisyaratkan oleh hadis di atas. Dalam kaitan ini, kata sunnah (bukan sunnah dalam pengertiannya sebagai perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi) sama maknanya dengan kata bid’ah.

Banyak ulama, seperti Imam al-Syafi’i, al-Qurthubi, dan yang lain-lain, membagi bid’ah menjadi dua: bid’ah hasanah ‘bid’ah yang baik’ (atau bid’ah mahmûdah ‘bid’ah yang terpuji’), dan bid’ah sayyiah ‘bid’ah yang buruk’ (atau bid’ah madzmûmah ‘bid’ah yang tercela’), sebagaimana halnya sunnah dalam pengertian ini juga dibagi menjadi dua, yaitu sunnah hasanah dan sunnah sayyiah. Bid’ah yang sesuai, sejalan, atau selaras dengan sunnah Nabi maka ia adalah bid’ah yang baik (hasanah), dan bid’ah yang menyalahi, menyimpang, atau bertentangan dengan sunnah Nabi maka ia bid’ah yang buruk (sayyiah).

Imam al-Nawawi, penulis Syarah Shahih Muslim yang sangat terkenal dan tidak seorang pun mengingkari kapasitasnya, bahkan mengatakan hal yang senada dengan hadis “man sanna sunnatan hasanah …” tetapi beliau menggunakan kata yang seakar dengan kata bid’ah di dalam kitab itu:

ان كل من ابتدع شيئا من الشر كان عليه مثل وزر كل من اقتدى به في ذلك العمل مثل عمله إلى يوم القيامة ومثله من ابتدع شيأ من الخير كان له مثل أجر كل من يعمل به إلى يوم القيامة

“Setiap orang yang ‘menciptakan’ suatu amal keburukan, maka dia ikut menanggung dosa yang sama dengan dosa orang yang mengikutinya dalam amal itu hingga hari kiamat; dan setiap orang yang ‘menciptakan’ suatu amal kebaikan, maka dia memperoleh pahala yang sama dengan pahala orang yang melakukan amal itu hingga hari kiamat.”[6]

Bagi orang-orang yang memahami bahasa Arab, sebenarnya tidak diperlukan lagi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kata ibtada’a yang digunakan Imam al-Nawawi dalam ungkapan di atas; ibtada’a artinya “berbuat bid’ah” atau “menciptakan perkara baru yang sebelumnya tidak ada”.

Memaknai bid’ah dengan “prakarsa” dilakukan juga oleh seorang ulama besar yang sangat moderat asal Tuban, Jawa Timur, yaitu H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini dalam buku beliau yang sarat dengan informasi mengenai khilafiyah. Buku itu berjudul Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah dan sangat layak disimak oleh kaum wahabi dan orang-orang yang sepaham dengan mereka, agar mereka memperoleh tambahan ilmu yang bermanfaat sehingga mereka tercerahkan dan tidak mudah menuduh sesat semua bid’ah.

Jadi, yang dimaksud dengan bid’ah sesat yang diungkapkan oleh Nabi tiada lain adalah setiap jalan buruk yang dirintis, atau setiap prakarsa atau perkara baru yang buruk, yaitu yang bertentangan secara nyata dengan ketentuan nash-nash al-Quran dan al-Sunnah.

Satu hal yang pasti dalam kaitan ini adalah bahwa tidak ada penjelasan sedikit pun dari Nabi saw., apakah prakarsa atau bid’ah itu berlaku masanya sesudah beliau wafat (yaitu setelah agama Islam dinyatakan sudah sempurna) ataukah yang juga berlangsung pada masa Rasulullah masih hidup, yaitu di sela-sela turunnya wahyu; sehingga bukan pada tempatnya apabila membatasi bid’ah pada perkara-perkara yang berlangsung sesudah masa Nabi saja, sebab hal ini bertentangan dengan satu kenyataan bahwa para sahabat pada masa beliau juga sering melakukan sesuatu yang tidak dikerjakan dan/atau diperintahkan oleh Nabi, bahkan dalam soal ibadah sekalipun. Sebuah riwayat yang dikutip oleh Imam al-Bukhari dan juga oleh imam-imam hadis lainnya menunjukkan apa yang dimaksud dengan kenyataan itu.

عن رفاعة بن رافع الزرقي قال ثم كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم فلما رفع رأسه من الركعة قال سمع الله لمن حمده قال رجل وراءه ربنا ولك الحمد حمدا طيبا مباركا فيه فلما انصرف قال من المتكلم قال أنا قال رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها أيهم يكتبها أولا

Dari Rifa’ah ibn Rafi’ al-Zarqi, ia berkata: Pada suatu hari saya salat di belakang Nabi saw.; kemudian ketika bangun dari ruku’, beliau mengucapkan sami’allahu liman hamidah ‘semoga Allah mendengarkan orang yang memujinya’, dan seorang makmum mengucapkan allahumma lakal hamdu katsiran thayyiban mubarakan fihi ‘Ya Allah, bagi-Mu segala puji, pujian yang banyak, penuh berkah, dan baik’. Ketika beliau selesai salat, beliau langsung bertanya, ‘Siapa yang mengucapkan doa tadi?’ Orang itu menjawab, ‘Saya wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, “Tadi aku melihat tiga puluh lebih malaikat berebutan siapa yang akan mencatat doa itu pertama kali.”

Riwayat di atas dikutip dalam Shahih al-Bukhari (I/275), Shahih Muslim (I/419), Shahih Ibn Khuzaymah (I/237), Shahih Ibn Hibban (V/236), al-Mustadrak (I/348), Sunan Abi Dawud (I/204), al-Sunan al-Kubra (I/222), Sunan al-Nasai al-Mujtaba (II/132), Muwaththa’ Malik (I/211), Musnad al-Bazzar (IX/272-273); al-Mu’jam al-Awsath (VII/97), Musnad Ahamd (III/167), dan kitab-kitab hadis lainnya.

Dari matan hadis tersebut mudah dipahami bahwa doa yang diucapkan seorang makmum yang salat di belakang Rasulullah itu merupakan prakarsanya sendiri, dan Nabi tidak melarangnya, melainkan justru memujinya, padahal beliau pernah bersabda, “Shallu kama raaytumuni ushalli ‘Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku salat’.”

Apabila dikatakan, “Itu ‘kan pada masa Nabi dan kejadian semacam itu sudah jamak, karena apa yang disebut Sunnah Nabi bukan hanya perkataan dan perbuatan beliau, melainkan juga ketetapan (taqrir) beliau, yaitu segala sesuatu yang didiamkan atau dikukuhkan oleh beliau.”

Kalau kita mengacu pada pengertian bid’ah sebagai “prakarsa” atau “cara yang dirintis”, maka pertanyaan di atas tidak perlu dijawab lagi. Namun, agar semakin jelas, mari kita lacak lafal kullu ‘semua atau segala’ dalam hadis kullu bid’atin dhalalah ‘semua bid’ah adalah sesat’ yang dijadikan dalil utama oleh pakar-pakar bid’ah untuk menghantam semua jenis perkara baru sebagai bid’ah sesat.

Dalil Umum Menunjuk Pada Pengertian Khusus

Kata kull dalam hadis di atas bersifat umum tetapi mengandung pengertian khusus. Bahwa hal semacam itu seringkali melekat pada nash-nash, baik al-Quran maupun al-Hadis, tidak perlu dipertentangkan. Dari contoh-contoh ayat berikut akan dapat dipahami apa yang dimaksudkan dengan lafal umum yang menunjuk pada pengertian khusus.

تدمر كل شيء بأمر ربها فأصبحوا لا يرى إلا مساكنهم كذلك نجزي القوم المجرمين

“(Angin taufan itu) menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya; maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat-tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang pendosa.” (Q.S. al-Ahqaf, 46: 25).

Kata kull dalam ayat di atas secara harfiah bermakna “segala/semua” dan kata ini bersifat umum, tetapi ia menunjuk hanya pada “kaum Tsamud”, bukan yang lain. Kalau kata kull dalam ayat itu diterjemahkan secara harfiah dan apa adanya, maka berarti bahwa yang dihancurkan oleh angin topan itu adalah semua yang ada di langit dan di bumi tanpa ada perkecualian, bahkan juga langit dan bumi itu sendiri, berikut dengan segala isinya; dan itu berarti kiamat.

Hal senada dapat disimak dalam firman Allah:

إني وجدت امرأة تملكهم وأوتيت من كل شيء ولها عرش عظيم

“(Burung Hud-Hud berkata:) Sesungguhnya aku menemukan seorang wanita (Ratu Balqis) yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (Q.S. al-Naml, 27: 23).

Apa yang diberikan Allah kepada Ratu Balqis seperti yang disaksikan dan dikatakan oleh Hud-Hud dalam ayat di atas bukan “segala sesuatu” dalam pengertiannya yang harfiah; sebab dia tidak dianugerahi apa yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Sulaiman a.s., seperti kemampuan berkomunikasi dengan binatang dan makhluk-makhluk lainnya. Ini berarti bahwa ungkapan kull di dalam ayat di atas bersifat umum tetapi menunjuk pada pengertian khusus, yaitu terbatas hanya pada “segala sesuatu” yang dianugerahkan kepada Ratu Balqis.

Dalam hadis pun, persoalan ‘am (umum) dan khash (khusus) tersebut sudah biasa muncul. Sebutlah, misalnya, sabda Nabi dalam hadis Abu Hurairah:

كل بن آدم تأكل الأرض إلا عجب الذنب منه خلق وفيه يركب

“Semua anak Adam akan hancur dimakan tanah kecuali tulang tengkorak; dari tanah dia diciptakan dan di tanah dia dibentuk dan disusun ulang.”[7]

Dalam hadis di atas disebutkan kull ibn Adam ‘semua anak Adam’. Hadis ini juga secara harfiah berlaku atau bersifat umum, tetapi tidak berarti bahwa jasad “semua” anak Adam pasti dimakan tanah. Sebab, dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada golongan-golongan hamba Allah yang jasad mereka tetap utuh, tidak dimakan tanah, karena Allah sendiri telah mengharamkan atas tanah untuk memakan jasad mereka. Mereka adalah para nabi, syuhada, ulama, dan para pemikul al-Quran. Dalam hadis shahih yang dikutip oleh banyak ahli hadis disebutkan:

إن الله عز وجل قد حرم على الأرض أن تأكل أجساد الأنبياء

“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan atas tanah untuk memakan jasad para nabi.”[8]

Jadi, kembali ke hadis “bid’ah” yang selalu dijadikan hujjah untuk menghantam seluruh jenis bid’ah oleh pakar-pakar bid’ah, lafal kull dalam hadis itu—sekali lagi—bersifat umum tetapi menunjuk pada pengertian khusus, yaitu hanya terbatas pada jenis-jenis bid’ah yang menimbulkan madarat dan menyimpang dari ketentuan syara’ secara esensial.

Kalau kenyataan ini tetap ditolak, dan saudara-saudara kita dari kaum wahabi atau yang sepaham dengan mereka tetap “berkeyakinan” bahwa yang dimaksud dengan bid’ah adalah semua perkara baru yang tidak pernah dilakukan dan/atau diperintahkan oleh Nabi, tanpa memandang keriteria baik atau buruk, manfaat atau madarat, maka mau tak mau mereka “wajib” memasukkan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan ‘Umar ibn Khaththab sebagai pelopor-pelopor bid’ah, dan tentu tidak perlu lagi berdalih (misalnya): “Mereka lain, dong!”

Abu Bakar Berbuat Bid’ah

Pada suatu ketika ‘Umar ibn al-Khaththab mendesak Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq r.a. agar segera mengumpulkan wahyu yang terserak karena banyaknya sahabat penghafal al-Quran yang gugur dalam Perang Yamamah sehingga dikhawatirkan banyak ayat al-Quran yang lenyap bersama mereka. “Perang Yamamah telah memakan banyak korban, termasuk sahabat-sahabat penghafal al-Quran,” kata ‘Umar membuka percakapan dengan Khalifah. “Aku khawatir sekali peperangan itu akan menggugurkan para penghafal al-Quran di seluruh negeri, sehingga banyak ayat al-Quran yang hilang. Menurut hematku, alangkah baiknya apabila Anda memerintahkan pengumpulan al-Quran (menjadi satu mushaf),” kata ‘Umar lebih lanjut. Khalifah menjawab:

كيف أفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah saw.?”—dengan kata lain: “Bagaimana mungkin aku melakukan bid’ah?”. ‘Umar berkata, “Demi Allah, ini perbuatan yang baik.” Dan ‘Umar terus mengulangi usulannya tentang pengumpulan al-Quran, sehingga “Allah membuka dadaku sebagaimana Dia telah membuka dada ‘‘Umar , dan aku sependapat dengan ‘Umar mengenai hal itu,” kata Abu Bakar pada akhirnya.[9]

Mari kita simak kembali apa yang diucapkan Abu Bakar ketika pertama kali mendengar usulan ‘Umar . “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah?” Ungkapan ini sama maknanya dengan “Bagaimana mungkin aku berbuat bid’ah?” Abu Bakar sudah tahu secara pasti bahwa apa yang diusulkan ‘Umar itu tidak pernah dilakukan dan bahkan tidak pernah diperintahkan oleh Nabi, karena itu beliau tidak langsung menyetujui usulan ‘Umar melainkan menjawabnya dengan ungkapan itu karena kehati-hatian beliau. Baru setelah melalui perenungan yang cermat, pada akhirnya beliau menyetujui usulan ‘Umar ibn al-Khaththab.

‘Umar ibn al-Khaththab Berbuat Bid’ah

Salat tarawih berjamaah di masjid tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. secara terus-menerus karena khwatir menjadi wajib sehingga memberatkan para sahabat. Dalam kaitan ini, beliau bersabda, “Aku tidak meragukan kedudukan kalian, tetapi aku khawatir salat tarawih berjamaah itu diwajibkan atas kamu kemudian kalian tidak mampu melakukannya.”[10]

Salat tarawih berjamaah mulai populer pada masa ‘Umar ibn al-Khaththab. Pada suatu malam di bulan Ramadan, ‘Abdurrahman ibn ‘Abd al-Qari pergi ke masjid bersama ‘‘Umar, dan ternyata di masjid banyak sekali orang yang melakukan salat (tarawih) sendiri-sendiri, saling terpisah antara yang satu dan yang lain. ‘Umar berkata, “Andaikata mereka berjamaah pada satu qari‘ (imam), tentu hal itu lebih utama.” ‘Umar kemudian berketetapan menghimpun mereka agar berjamaah dan bermakmum kepada Abi ibn Ka’ab. Pada malam yang lain, ‘Abdurrahman ibn ‘Abd al-Qari pergi lagi ke masjid bersama ‘Umar, dan ternyata orang-orang sedang menunaikan salat tarawih berjamaah pada satu imam. ‘Umar berkata:

نعمت البدعة هذه

“Sebaik-baik bid’ah adalah yang ini (salat tarawih berjamaah).”[11]

Disebut sebagai sebaik-baik bid’ah karena salat tarawih semacam itu mengandung kebaikan dan masuk pada wilayah yang terpuji meskipun Nabi saw. sendiri tidak melestarikannya. “Apa yang dilakukan ‘Umar r.a. dengan memelihara salat tarawih berjamaah serta mengumpulkan orang-orang dan menganjurkan mereka untuk melakukan salat tarawih ini adalah bid’ah,” kata al-Imam al-Qurthubi menegaskan. “Tetapi itu bid’ah mahmudah mamduhah ‘bid’ah yang terpuji’.”[12]

Di sini bahkan ‘Umar sendiri justru menggunakan kata bid’ah untuk menunjuk pada salat tarawih berjamaah pada satu imam yang diprakarsainya.

Salat Dhuha Adalah Bid’ah dan Sebaik-Baik Bid’ah

Dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn Khuzaymah, Ibn Hibban, dan imam-imam hadis lainnya dinyatakan bagaimana kata bid’ah itu justru digunakan untuk menunjuk pada salat Dhuha. Riwayat itu berasal dari Mujahid r.a., ia berkata:

دخلت أنا وعروة بن الزبير المسجد فإذا عبد الله بن عمر جالس إلى حجرة عائشة والناس يصلون الضحى في المسجد فسألناه عن صلاتهم فقال بدعة

“Aku dan ‘Urwah ibn al-Zubair memasuki masjid, tiba-tiba Abdullah ibn ‘Umar duduk di dekat kamar ‘Aisyah sementara orang-orang sedang menunaikan salat Dhuha di dalam masjid, lalu kami bertanya kepada Ibn ‘Umar tentang salat mereka, dan ia menjawab, “Bid’ah.”[13]

Dalam riwayat lain yang dikutip oleh Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir-nya dinyatakan bahwa Ibn ‘Umar berkata:

صلاة الضحى بدعة ونعمت البدعة

“Salat Dhuha itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah.”[14]

Perkataan Ibn ‘Umar barangkali disebabkan karena Nabi memang tidak pernah melakukan salat Dhuha, atau hanya melakukannya sekali sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis yang dikutip oleh al-Bukhari berikut yang berasal dari Abu Layla:

ما أنبأنا أحد أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم صلى الضحى

“Tidak seorang pun yang memberitakan kepada kami bahwa ia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salat Dhuha.”[15]

Dalam riwayat lain yang juga dikutip oleh Imam al-Bukhari dan beberapa imam hadis lainnya disebutkan:

فقال رجل من آل الجارود لأنس أكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى فقال ما رأيته قط صلاها إلا يومئذ

“Seorang laki-laki dari keluarga al-Jarud bertanya kepada Anas, ‘Apakah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam selalu menunaikan salat Dhuha?’ Anas menjawab, ‘Aku tidak pernah melihat Nabi menunaikan salat Dhuha kecuali pada hari itu’.”[16]

Demikian juga riwayat yang berasal dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, ia berkata:

ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم سبح سبحة الضحى وإني لأسبحها

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw. bertasbih (maksudnya: salat) Dhuha, sementara aku bertasbih (maksudnya: salat) Dhuha.”[17]

Kasus salat Dhuha ini hampir sama dengan kasus salat Tarawih; Nabi pernah melakukannya tetapi karena khawatir salat itu diwajibkan atas umatnya, maka beliau meninggalkannya (tidak melakukannya di masjid), dan sebuah hadis disebutkan bahwa beliau sering meninggalkan amal-amal tertentu karena alasan itu. Hal itu ditegaskan antara lain dalam hadis yang dikutip oleh Ibn Hibban:

عن بن شهاب قال أخبرني عروة بن الزبير أن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم كانت تقول ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يسبح سبحة الضحى وكانت عائشة تسبحها وكانت تقول إن رسول الله ترك كثيرا من العمل خشية أن يستن به فيفرض عليهم

“Dari Ibn Syihab ia berkata, Aku diberi berita oleh ‘Urwah ibn al-Zubair bahwa ‘Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Rasulullah tidak pernah bertasbih Dhuha’, sementara ‘Aisyah sendiri selalu bertasbih Dhuha. ‘Aisyah juga berkata, ‘Sesunguhnya Rasullullah telah meninggalkan banyal amal ibadah karena takut amal-amal itu disunnatkan atau diwajibkan atas mereka (umat Nabi).”[18]

Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa Ibn ‘Umar menggunakan kata ‘bid’ah’ untuk menunjuk suatu perkara yang jelas bukan perkara buruk—dalam hal ini salat Dhuha. Bahwa salat ini termasuk di antara ibadah-ibadah yang disyariatkan; hal itu juga sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan berdasarkan hadis-hadis yang antara lain menyatakan bahwa Rasulullah saw. pernah mewasiatkan salat Dhuha kepada Abu Dzarr,[19] dan juga kepada Abu Hurairah.[20]

Intinya, apa pun yang dilakukan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah, selama tidak ada larangan yang tegas dari nash (al-Quran dan al-Hadis), meskipun tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya, maka tidak dapat serta-merta disebut sebagai bertentangan al-Quran dan al-Sunnah. Kasus salat tarawih berjamaah ala `Umar—sekali lagi—adalah salah satu contoh ibadah dari sekian banyak contoh yang termasuk dalam pengertian ini. Misalnya: Nabi tidak pernah memerintahkan para sahabat berdzikir atau bertasbih sebanyak “sepuluh ribu kali” dalam sehari semalam yang dihitung dengan “simpul-simpul benang”, dan beliau juga tidak pernah mengeluarkan larangan mengenai hal itu, tetapi Abû Hurairah justru melakukannya. Dalam riwayat yang berasal dari `Ikrimah disebutkan bahwa Abû Hurairah setiap hari selalu bertasbih sebanyak sepuluh ribu kali. Abû Hurairah bahkan berkata, “Aku bertasbih sebanyak dosaku.” Adapun dalam riwayat yang berasal dari Na`im ibn Muharriz ibn Abû Hurairah disebutkan bahwa Abû Hurairah mempunyai seutas benang dengan dua ribu simpul; dia tidak tidur sebelum bertasbih dengan menggunakan simpul-simpul itu.”[21]

Nabi saw. juga tidak pernah memerintahkan para sahabat berdzikir atau bertasbih dengan kerikil, dan juga tidak pernah mengeluarkan larangan mengenai hal itu, tetapi Abû Shafiyyah, mawla Nabi saw., justru setiap hari selalu menghamparkan selembar kulit, kemudian mengambil kantong yang berisi kerikil, lalu ia bertasbih dengan kerikil itu hingga tengah hari, kemudian ia bangun. Bila ia salat Zhuhur, ia mengambil lagi kerikil itu kemudian bertasbih dengan kerikil itu hingga sore.”[22]

Dalam kasus ini, Abû Hurairah dan Abû Shafiyyah telah melakukan bid`ah dan “menciptakan sendiri (secara baru) batasan jumlah, cara, dan waktu-waktunya”. Lagi-lagi, kenyataan ini membatalkan pernyataan kaum Wahabi atau para pemvonis bid'ah kecuali kalau mereka "berkenan" memasukkan Abû Hurairah dan Abû Shafiyyah sebagai para pelaku bid`ah yang sesat dalam kasus ini.

Lebih Jauh tentang Macam-Macam Bid’ah

Kalau yang dimaksud dengan bid’ah semata-mata adalah sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa Raslullah saw. atau yang tidak pernah dilakukan atau diperintahkan oleh beliau, maka Abu Bakar, ‘Umar ibn al-Khaththab, Zaid ibn Tsabit (penulis wahyu di masa Rasul, penghimpun al-Quran di masa Abu Bakar, dan ketua panitia pembukuan al-Quran di masa 'Utsman ibn 'Affan), dan para sahabat lainnya adalah pelopor-pelopor bid’ah, dan seluruh kaum Muslimin dari dulu hingga sekarang adalah pendukung-pendukung bid’ah karena mereka menggunakan mushhaf al-Quran yang lahir dari perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan dan/atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. Pengumpulan al-Quran yang dilakukan Abu Bakar al-Shiddiq r.a.—sebagaimana diakui sendiri—adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah saw., dan hal itu berarti bid’ah, tetapi tentu saja bukan bid’ah madzmumah 'bid’ah yang tercela', apalagi bid’ah sesat, bahkan juga bukan semata-mata bid’ah mahmudah, melainkan justru bid’ah wajib. Satu kaidah fikih yang sangat populer: Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib ‘Apa pun yang menjadi syarat sempurnanya perkara yang wajib, maka ia juga wajib’.[23]

Mengamalkan al-Quran adalah wajib, dan pengamalan ini hanya mungkin dilakukan apabila seseorang mempelajarinya, sehingga mempelajari al-Quran juga wajib. Karena mempelajari al-Quran wajib, maka menjaga al-Quran dari kemusnahan (agar tetap bisa dipelajari) juga wajib. Pengumpulan al-Quran yang dilakukan Abu Bakar r.a. dan para sahabat tidak lain adalah upaya awal untuk memelihara al-Quran, sehingga meskipun pengumpulan al-Quran adalah bid’ah—tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.—perbuatan itu adalah bid’ah yang bersifat wajib, sebab kewajiban mengamalkan al-Quran tidak mungkin bisa dilaksanakan kalau bukan karena bid’ah yang satu ini. Terkait dengan masalah ini, Imam Abu Muhammad 'Izz al-Din, dalam kitab Qawa‘id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, bahkan menegaskan adanya berbagai jenis bid’ah, “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak dikenal pada masa Rasulullah saw., dan terbagi menjadi: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah sunnah, bid’ah makruh, dan bid’ah mubah. Cara mengetahui macam-macam bid’ah adalah dengan menghadapkan bid’ah itu pada kaidah-kaidah hukum (syariat). Jika ia masuk pada kaidah wajib, maka ia wajib; jika masuk pada kaidah haram, maka ia haram; jika masuk pada kaidah sunnah, maka ia sunnah; jika masuk pada kaidah makruh, maka ia makruh; dan jika ia masuk pada kaidah mubah, maka ia mubah. Bid’ah wajib banyak contohnya, antara lain mempelajari ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) yang digunakan untuk memahami kalam Allah dan kalam Rasulullah saw.; hal itu adalah wajib (wajib kifayah, yaitu wajib atas sebagian orang—pen.), karena memelihara syariat adalah wajib dan hal itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan mengetahui syariat itu sendiri. Apa pun yang perkara wajib tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali dengannya, maka ia pun wajib.”[24]

Dalil-Dalil Lain Para Pemvonis Bid’ah

Selain dalil “bid’ah” yang sudah disinggung sebelumnya, ada dalil-dalil lain yang seringkali digunakan sebagai dalil-dalil (tepatnya sebagai dalih-dalih) oleh para pemvonis bid’ah dari kalangan Wahhabi dan/atau yang sepaham dengan mereka, yang pada umumnya berkisar pada:

(1) Firman Allah yang berbunyi:

وما آتَاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا

“Apa yang disampaikan Rasul kepadamu, ambillah; dan apa yang dilarangnya, tinggalkanlah!” (Q.S. 59: 7);

(2) Hadis Nabi saw. yang senada dengan ayat di atas:

إذا أمرتكم بأمرفأتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه

“Jika aku suruh kamu dengan suatu urusan, maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuanmu; dan apa yang aku larang, jauhilah;”[25]

(3) HadisNabi tentang hal-hal yang tidak ada sumbernya dalam al-Quran/al-Hadis:

من أحدث في أمرناهذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa yang dalam urusan agama menciptakan suatu aktivitas yang tidak berasal dari agama itu sendiri, maka ia tertolak (batil).”[26]

(4) Hadis Nabi yang senada:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang mengerjakan aktivitas yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak (batil).”[27]

Dalil-dalil (1) dan (2) di atas sama-sama menunjukkan bahwa kita harus menjalankan semua yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. serta menjauhi semua yang dilarang oleh beliau.

Namun begitu, yang perlu digarisbawahi mengenai dua dalil ini adalah ungkapan Allah “dan apa yang dilarangnya, tinggalkanlah” atau ungkapan Nabi “dan apa yang aku larang, jauhilah”. Di sini tampak dengan jelas bahwa yang wajib ditinggalkan atau dijauhi adalah “yang dilarang” oleh Rasulullah saw., bukan “yang ditinggalkan” atau “yang tidak dilakukan” oleh beliau. Segala sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah saw. tidak serta-merta wajib ditinggalkan oleh umatnya, atau tidak serta-merta haram hukumnya apabila dikerjakan. Meninggalkan yang ditinggalkan Rasulullah saw. adalah mustahabb ‘lebih disukai’ atau masnunah ‘disunatkan’, sedangkan mengerjakannya adalah makruh ‘tidak disukai’.

Rasulullah saw. tidak suka makan bawang putih dan bawang merah, dan tidak suka pula berdekatan dengan orang yang baru makan keduanya. “Aku makan bawang putih dan kemudian datang ke Masjid Nabi saw., sedang aku sudah tertinggal satu rakaat," kata al-Mughirah ibn Syu'bah bercerita. ‘Tatkala aku memasuki masjid, beliau mendapatkan bau bawang putih itu. Setelah selesai salat, beliau bersabda, ‘Barangsiapa makan buah pohon ini (bawang putih), janganlah ia mendekati masjid kami sebelum hilang baunya.’ Setelah selesai salat, aku datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, tolong berikan tangan Anda kepadaku.’ Kemudian aku memasukkan tangan beliau ke lengan gamisku hingga menyentuh dadaku. Tiba-tiba aku merasakan dadaku panas. Beliau lalu bersabda, Inna laka 'udzran ‘sesungguhnya engkau sedang berhalangan (memasuki masjid)’.”[28]

Dalam riwayat yang lain diceritakan bahwa Abu Ayyub al-Anshari r.a. pernah mengirimkan kepada Rasulullah saw. makanan, dan beliau tidak mau memakannya karena makanan itu mengandung bawang putih. Abu Ayyub bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, A haramun huwa ‘apakah bawang itu haram’?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi aku tidak menyukainya karena baunya.”[29] Jadi, apa yang ditinggalkan atau yang tidak dilakukan atau bahkan yang tidak disukai Rasulullah saw. tidak serta-merta haram atau—dengan kata lain—merupakan sesuatu yang wajib ditinggalkan pula oleh umat beliau.

Adapun hadis dalam dalil (3) dan (4) di atas sebenarnya berkaitan dengan hal-hal yang cenderung tercela, keji dan mungkar, dan tidak ada kaitannya dengan hal-hal yang mengandung manfaat dan kebaikan. Hadis “Barangsiapa yang dalam urusan agama menciptakan suatu aktivitas yang tidak berasal dari agama itu sendiri, maka ia tertolak (batil)” dan hadis “Barangsiapa yang mengerjakan aktivitas yang tidak kami perintahkan, , maka ia tertolak (batil)” di atas pernah diungkapkan oleh Ibnu Abi Awfa, dan dikutip oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya dan Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Taghliq al-Ta'liq-nya, ketika berbicara tentang perbuatan al-najsyu ‘menawar barang dengan maksud agar orang lain menawar lebih tinggi’, suatu aktivitas yang hingga sekarang juga masih sering muncul dan biasanya dilakukan oleh teman si penjual dalam rangka kolusi dan memperdaya para pembeli sehingga keuntungan mereka menjadi berlipat ganda. Ibnu Abi Awfa berkata, “Al-Najisy ‘orang yang melakukan najsy’ adalah pemakan riba dan pengkhianat. Perbuatan itu merupakan tipu daya yang batil.’ Nabi saw. bersabda:
الخديعة في النار ومن عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Penipu itu akan dijebloskan ke neraka. Dan barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak saya perintahkan, maka ia batil (tertolak).”[30]

Kalau hadis tersebut atau hadis-hadis lain yang senada ditelaah secara cermat, maka akan diperoleh kesimpulan bahwa hadis-hadis itu semuanya berkenaan dengan hal-hal atau aktivitas-aktivitas yang mengarah pada kemungkaran, menimbulkan kerusakan dan merugikan orang lain, sehingga aktivitas-aktivitas tersebut mutlak haram. Banyak sekali referensi yang dapat Anda manfaatkan untuk memahami maksud dan kandungan hadis Nabi tersebut, antara lain: Shahih al-Bukhari (II/753, VI/2675), Shahih Muslim (III/1343), Musnad Abi ‘Awanah (IV/171), Musnad Ahmad (VI/146), Sunan al-Daruquthni (IV/227), Tahdzib al-Kamal (XVIII/369), Taghliq al-Ta'liq (III/244), Syarh Shahih Muslim (XII/16), dan lain sebagainya.

Dalam kaitan ini, manfaat dan madarat menjadi tolok ukur yang sangat mendasar dalam menentukan hukum suatu perkara, khususnya yang tidak ada ketentuannya di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Bukankah khamr dan maysir diharamkan oleh Allah tiada lain hanya karena madarat (dosa)-nya lebih besar daripada manfaatnya? (Q.S. 2: 219).

Jadi, perkara-perkara yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam al-Quran dan al-Sunnah tidak serta-merta menjadi haram karena alasan hadis di atas. Jika kita menghadapi perkara-perkara semacam itu, kita bisa menyikapinya (fikih: menentukan hukumnya) dengan berpegang pada satu kaidah fikih yang cukup populer yang didasarkan pada hadis tersebut: al-nahyu yaqtadhi al-fasad ‘larangan menunjukkan adanya kerusakan’.[31] Di samping itu, perlu dipertimbangkan pula satu kaidah fiqh lainnya yang juga sangat populer, yaitu: al-ashl fi al-asyya‘ al-ibahah hatta yadulla al-dalil 'ala al-tahrim ‘hukum asal untuk segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa itu haram’.[32] Kaidah ini didasarkan pada hadis Nabi saw.:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah di dalam al-Quran, dan yang haram adalah apa yang diharamkan Allah di dalam al-Quran, sedangkan apa yang didiamkan (tidak diungkapkan) di dalamnya maka ia termasuk di antara hal-hal yang dimaafkan.”[33]

***
Dengan uraian-uraian di atas sebenarnya ada satu hal yang sangat diharapkan dari seluruh umat Islam, yaitu hendaknya jangan terjebak dalam masalah khilafiyah (silang sengketa) yang berkepanjangan sehingga selalu terjadi vonis-memvonis antara kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Hal itu justru akan memecah-belah persatuan dan kesatuan umat, yang pada gilirannya melemahkan mereka sehingga tidak mampu berbuat yang terbaik untuk manusia dan kemanusiaan. Di hadapan kita masih banyak masalah-masalah lain yang jauh lebih penting untuk dibahas dan dihadapi bersama-sama, misalnya soal kemiskinan dan kebodohan yang hingga sekarang masih melanda saudara-saudara kita, di samping musuh-musuh terselubung dan misi kafir yang disisipkan secara rahasia dan terang-terangan ke dalam urat nadi kaum Muslimin untuk menjauhkan mereka dari akidah tauhid yang benar.

Agar kita tidak selalu terjebak dalam masalah khilafiah yang sangat memprihatinkan itu, satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma (cara pandang) tentang pemahaman keagamaan dari pandangan bahwa pendapat kita adalah yang paling benar secara mutlak menjadi pandangan bahwa pendapat kita benar tetapi sangat boleh jadi salah sedangkan pendapat kelompok lain salah tetapi sangat boleh jadi benar. Sebab, yang benar secara mutlak hanyalah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan pemahaman manusia tentang kebenaran sangat relatif dan selalu berpeluang salah.

Wallâhu a'lam.

Ditulis Oleh: Bami Abdul Madjid

Sumber :  

http://reyarifin.blogspot.com/2011/11/penjelasan-sunnah-dan-bidah.html

http://coypindu.blogspot.com/2011/09/penjelasan-sunnah-dan-bidah.html

Pos Comment

Artikel Ini dapat di Copy sebanyak yang anda inginkan dan di sebarluaskan Karena Ilmu yang baik adalah yang dapat di amalkan kepada semua Orang

Category

Umum (12) Hadis (4) Shalat (3) Sunnah (3) Akhlak (2) Akidah (2) TV (1)
TvQuran

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in Indonesia